Islam dan Kepemimpinan Perempuan

Handayani, Diah (2021) Islam dan Kepemimpinan Perempuan. IAIN Kediri Press., Kediri. ISBN 9786237682059

[img] Text
diah_buku_prabab.pdf

Download (546kB)
[img] Text
diah_buku_BAB I (fix).pdf

Download (143kB)
[img] Text
diah_buku_BAB II(fix).pdf

Download (109kB)
[img] Text
diah_buku_BAB III (fix).pdf

Download (288kB)
[img] Text
diah_buku_BAB IV (fix).pdf

Download (281kB)
[img] Text
diah_buku_BAB V (fix).pdf

Download (25kB)

Abstract

Terdapat ilustrasi sejarah menggambarkan pandangan hukum yang berlaku di Indonesia telah mengakui keberadaan seorang perempuan menjadi kepala negara. Hal ini berangkat dari pandangan masyarakat dan politisi bahwa persoalan kepemimpinan politik (khususnya untuk jabatan kepala negara) di Indonesia sebenarnya tidak perlu mempertentangan soal gender, tetapi yang lebih penting adalah aspek kualitas. Disamping itu, aturan yang ditetapkan pemerintah dalam sistem pemilihan anggota legislatif (caleg) untuk pemilihan tahun 2009 menetapkan bahwa keterwakilan perempuan dalam satu partai harus memenuhi kuota sebesar 30%. Aturan ini semakin menegaskan peran perempuan dalam berpolitik di Indonesia. Namun, permasalahan gender tidak terlepas dari kontroversi dikalangan masyarakat, khususnya pandangan islam terhadap kedudukan perempuan sebagai kepala negara. Berangkat dari permasalahan di atas makalah ini mencoba untuk mengkaji kedudukan perempuan sebagai kepala negara dalam Islam. Berbicara mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan tidak terlepas dari pemahaman mengenai gender. Gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki ataupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural. Contohnya, perempuan yang dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan lain-lain. Cir-ciri tersebut dapat dipertukarkan, artinya ada laki-laki yang emosionla, lemah lembut, sementara ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dari suatu tempat ke tempat lain. Secara implisit agama Islam sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap berbagai pelanggaran hak-hak perempuan yang terjadi sebagaimana banyak dikeluhkan orang selama ini. Ketidakmampuan untuk membedakan secara tajam tentang sumber-sumber utama hukum Islam yakni Al-Quran dan Hadis dengan interpretasi para ahli fiqh yang kemudian mejadi Hukum Islam (Syariah Islam), serta menggunakan metode interpretasi yang sangat tekstual dan tidak berperspektif gender yang menyebabkan wajah Islam menjadi sangat diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini misalnya tercermin dalam berbagai diskursus selama ini tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan hak-hak perempuan. Jarak yang terdapat dalam pemahaman tentang sumber-sumber Islam yang utama dengan praktek budaya berdasarkan Islam juga turut mempengaruhi gambaran yang kurang tepat tentang Islam itu sendiri apalagi jika menyangkut masalah perempuan. Contoh paling populer adalah soal kepemimpinan perempuan dalam Islam yang belakangan ini muncul kembali dan juga masalah poligami yang dalam UU Perkawinan telah dilakukan pembatasan yang kemudian dianggap bertentangan dengan Syariat Islam. Pemahaman tentang perlunya penafsiran yang lebih konstektual, demokratis dan berspektif gender pada era reformasi saat ini sangat diperluakan terutama pada era otonomi daerah saat ini. Masalahnya saat otonomi daerah diperlukan, terlihat kecendrungan adanya daerah-daerah yang merasa perlu menghidupkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai adat mereka baik yang langsung bersandar kepada nilai-nilai agama Islam maupun yang tidak. DPRD Sumatera Barat misalnya dalam rangka menegakkan nilai yang telah berakar lama dalam masyarakat Minangkabau yakni “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah, Syara’ mangato Adat mamakai” telah mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pemberantasan Penyakit Maksiat. Ranperda ini antara lain memuat ketentuan yang melarang perempuan keluar malam tanpa disertai muhrimnya (pasal 10 ayat 3) dan larangan tindakan porno yakni semua jenis kegiatan atau perbuatan yang merangsang nafsu birahi termasuk pakaian perempuan yang membuka aurat dan pakaian yang terlalu ketat dengan memperlihatkan postur tubuh yang membangkitkan nafsu laki-laki yang melihatnya (pasal 1 dan penjelasannya). Tidaklah mudah menguraikan persoalan kemitraan laki-laki dan perempuan dengan menunjukkan berbagai sumber ajaran. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan pendapat, terutama dalam hal memahami teks-teks keagamaan, bahkan mungkin teks apapun, yang dalam penafsirannya dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya ialah faktor tingkat pengetahuan, latar belakang pendidikan, budaya serta kondisi sosial masyarakat. Belum lagi, diakibatkan oleh kesalahpahaman dalam memahami latar belakang teks dan sifat dari bahasannya. Harus diakui bahwa dalam beberapa hal terkadang cara pandang yang disodorkan oleh laki-laki kurang objektif dalam memahami persoalan perempuan. Namun, lebih berbahaya adalah apabila perempuan sendiri menampilkan cara pandang yang tidak objektif atas dirinya sendiri. Akan tetapi sebagai perempuan yang muslim, saya berusaha bergumul dengan berbagai pemikiran dan argumentasi perawi hadis, belum lagi apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an serta konteks sosial budaya di mana Islam itu dilahirkan hingga merambahkan ajaran-ajarannya sampai di Indonesia. Konteks itu sendiri menurut saya tidaklah senetral yang dibayangkan. Karena ia selalu berafiliasi dengan budaya setempat. Meski agak terseok-seok saya berusaha telaten dan rajin mengumpulkan dan mengklasifikasikan berbagai pandangan, akhirnya saya menyodorkan buku ini kepada pembaca. Apalagi akhir-akhir ini konsep tentang kodrat dan fitrah memperoleh banyak perhatian utama dari sejumlah sarjana dan aktifis yang mencoba melakukan tafsir ulang terhadap teks-teks kitab suci dengan pendekatan analisis gender. Upaya pembongkaran ini dilakukan setidaknya melalui tiga hal antara lain : Pertama, pembongkaran terhadap makna “kodrat” bagi perempuan. Kedua, membongkar pemahaman lama tentang argumentasi pembagian kerja secara seksual. Ketiga, analisis ini membuka ruang untuk menelusuri akar-akar sejarah sosial mengapa muncul subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan ketidakadilan terhadap perempuan seraya mengenali kekuatan diri untuk dapat mengorganisisr kekuatan kolektif. Gagasan ini menyiratkan bahwa jika kita hendak mencari jalan keluar bagi keterbelakangan atau subordinasi perempuan, maka harus ada yang berubah dalam hubungan-hubungan dan ideologi gender serta hubungannya dengan kepemimpinan perempuan.

Item Type: Book
Subjects: 17 PSYCHOLOGY AND COGNITIVE SCIENCES > 1701 Psychology > 170105 Gender Psychology
Divisions: Fakultas Ushuluddin > Jurusan Psikologi Islam
Depositing User: Muhamad Hamim
Date Deposited: 10 Nov 2021 03:28
Last Modified: 10 Nov 2021 03:36
URI: http://repository.iainkediri.ac.id/id/eprint/590

Actions (login required)

View Item View Item